Perbedaan Sertifikat Tanah dan Akta Tanah Yang Perlu Diketahui
Perbedaan Sertifikat Tanah dan Akta - Ketika Anda terlibat dalam transaksi jual-beli properti, Anda mungkin sering kali merasa bingung dengan dua dokumen penting, yaitu Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat tanah.
Kedua dokumen ini akan Anda temui selama proses transaksi, mulai dari kesepakatan awal hingga pendaftaran hak milik di kantor pertanahan.
Namun, perlu diingat bahwa AJB dan sertifikat tanah memiliki perbedaan yang signifikan, tidak hanya dalam bentuknya tetapi juga dalam kekuatan hukum yang mengatur kepemilikan hak atas tanah.
Untuk Akta Jual Beli (AJB), minimal harus sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah.
Pasal 95 ayat 1 menjelaskan bahwa AJB merupakan salah satu jenis akta tanah yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengganti data saat proses pendaftaran tanah.
Dengan kata lain, AJB menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh pembeli ketika akan mengurus pembuatan sertifikat tanah atau melakukan perubahan nama pada sertifikat tanah di kantor pertanahan.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kepastian hukum yang kuat terkait kepemilikan hak atas tanah.
Dalam Akta Jual Beli (AJB), terdapat rincian mengenai kesepakatan jual beli tanah atau rumah, jenis sertifikat tanah yang diperdagangkan, ukuran dan batas tanah, serta nilai transaksi.
Selain itu, AJB juga mencakup pernyataan dari penjual yang menyatakan bahwa ia telah menerima pembayaran penuh dari pembeli, yang dibuktikan dengan kwitansi sah sebagai bukti transaksi.
Selanjutnya, terdapat pernyataan resmi dari penjual yang menegaskan penerimaan pembayaran sepenuhnya, yang didukung oleh bukti tanda terima yang sah, yaitu kwitansi.
Penjual juga telah memastikan bahwa properti yang dijual tidak sedang dalam sengketa, tidak dicatat sebagai sitaan, tidak dijaminkan untuk utang (yang tidak tercantum dalam sertifikat), dan tidak memikul beban-beban lainnya.
Dari penjelasan di atas, perbedaan antara Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat tanah menjadi sangat nyata. Hal ini semakin ditegaskan oleh definisi resmi mengenai sertifikat tanah.
Sertifikat merupakan dokumen resmi yang menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas unit rumah susun, dan hak tanggungan yang telah tercatat dalam buku tanah yang relevan.
Aturan ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah, terutama dalam Pasal 1 ayat 20. Pasal 4 ayat 1 juga menyebutkan bahwa sertifikat hak atas tanah diberikan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah yang dimaksud mencakup kepemilikan, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, dan kepemilikan unit dalam rumah susun (HMSRS).
Konsep serupa juga diatur dalam Pasal 32 ayat 1, di mana sertifikat berfungsi sebagai bukti resmi yang sangat kuat terkait data fisik dan yuridis yang terdapat di dalamnya.
Ketentuan ini berlaku selama data fisik dan yuridis pada sertifikat sesuai dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Biasanya, jenis sertifikat yang terkait dengan Akta Jual Beli (AJB) adalah hak milik. Sebab, saat pembuatan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kantor Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) atau kantor pertanahan, AJB harus dilampirkan.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat dibuat oleh pihak yang berbeda.
Akta Jual Beli (AJB) dibuat dan ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sementara sertifikat tanah dikeluarkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau kantor pertanahan setempat.
Tetapi, AJB hanya merupakan dokumen kesepakatan yang menandai selesainya proses transfer kepemilikan tanah atau rumah akibat transaksi jual-beli.
Meskipun demikian, status kepemilikan hak atas tanah oleh pembeli belum memiliki kekuatan hukum tetap karena sertifikat tanah belum mengalami perubahan kepemilikan.
Maka dari itu, pembeli, melalui bantuan PPAT, perlu melakukan pendaftaran kepemilikan tanah ke kantor BPN atau kantor pertanahan setempat agar dapat memperoleh sertifikat tanah yang sah.
Namun, perlu diingat bahwa AJB dan sertifikat tanah memiliki perbedaan yang signifikan, tidak hanya dalam bentuknya tetapi juga dalam kekuatan hukum yang mengatur kepemilikan hak atas tanah.
Untuk Akta Jual Beli (AJB), minimal harus sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah.
Pasal 95 ayat 1 menjelaskan bahwa AJB merupakan salah satu jenis akta tanah yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengganti data saat proses pendaftaran tanah.
Dengan kata lain, AJB menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh pembeli ketika akan mengurus pembuatan sertifikat tanah atau melakukan perubahan nama pada sertifikat tanah di kantor pertanahan.
Tujuan utamanya adalah untuk memberikan kepastian hukum yang kuat terkait kepemilikan hak atas tanah.
Dalam Akta Jual Beli (AJB), terdapat rincian mengenai kesepakatan jual beli tanah atau rumah, jenis sertifikat tanah yang diperdagangkan, ukuran dan batas tanah, serta nilai transaksi.
Selain itu, AJB juga mencakup pernyataan dari penjual yang menyatakan bahwa ia telah menerima pembayaran penuh dari pembeli, yang dibuktikan dengan kwitansi sah sebagai bukti transaksi.
Selanjutnya, terdapat pernyataan resmi dari penjual yang menegaskan penerimaan pembayaran sepenuhnya, yang didukung oleh bukti tanda terima yang sah, yaitu kwitansi.
Penjual juga telah memastikan bahwa properti yang dijual tidak sedang dalam sengketa, tidak dicatat sebagai sitaan, tidak dijaminkan untuk utang (yang tidak tercantum dalam sertifikat), dan tidak memikul beban-beban lainnya.
Dari penjelasan di atas, perbedaan antara Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat tanah menjadi sangat nyata. Hal ini semakin ditegaskan oleh definisi resmi mengenai sertifikat tanah.
Sertifikat merupakan dokumen resmi yang menunjukkan bukti kepemilikan atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas unit rumah susun, dan hak tanggungan yang telah tercatat dalam buku tanah yang relevan.
Aturan ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah, terutama dalam Pasal 1 ayat 20. Pasal 4 ayat 1 juga menyebutkan bahwa sertifikat hak atas tanah diberikan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah yang dimaksud mencakup kepemilikan, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, dan kepemilikan unit dalam rumah susun (HMSRS).
Konsep serupa juga diatur dalam Pasal 32 ayat 1, di mana sertifikat berfungsi sebagai bukti resmi yang sangat kuat terkait data fisik dan yuridis yang terdapat di dalamnya.
Ketentuan ini berlaku selama data fisik dan yuridis pada sertifikat sesuai dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Biasanya, jenis sertifikat yang terkait dengan Akta Jual Beli (AJB) adalah hak milik. Sebab, saat pembuatan Sertifikat Hak Milik (SHM) di kantor Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) atau kantor pertanahan, AJB harus dilampirkan.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Akta Jual Beli (AJB) dan sertifikat dibuat oleh pihak yang berbeda.
Akta Jual Beli (AJB) dibuat dan ditandatangani oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sementara sertifikat tanah dikeluarkan oleh kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau kantor pertanahan setempat.
Tetapi, AJB hanya merupakan dokumen kesepakatan yang menandai selesainya proses transfer kepemilikan tanah atau rumah akibat transaksi jual-beli.
Meskipun demikian, status kepemilikan hak atas tanah oleh pembeli belum memiliki kekuatan hukum tetap karena sertifikat tanah belum mengalami perubahan kepemilikan.
Maka dari itu, pembeli, melalui bantuan PPAT, perlu melakukan pendaftaran kepemilikan tanah ke kantor BPN atau kantor pertanahan setempat agar dapat memperoleh sertifikat tanah yang sah.